Selasa, 29 April 2008

Hati yang Damai

"Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam surgaKu." (QS. Al-Fajr : 27-30).

Seseorang yang sering beribadah kepada Allah secara terus-menerus dan
menjauhi segala yang dilarangNya, pasti melahirkan hati yang damai (qolbun salim). Yakni hati yang senantiasa merasa dekat dengan Allah dan penuh rasa syukur serta bersabar ketika musibah datang.
Namun mengapa rasa risau masih ada, meskipun kita telah memperbanyak ibadah pada Allah? Mengapa ketenangan yang didambakan tidak juga hadir menghiasi malam-malam saat kita bermunajat kepadaNya? Ibadah-ibadah yang kita lakukan menjadi hambar, dan rasa galau tetap tidak mau hilang.

Saudaraku, kita hendaknya memahami hakikat dari ibadah. Inti dari ibadah, bukan pada banyaknya shalat, puasa, atau shadaqah yang kita lakukan. Tapi, lebih kepada bagaimana setiap amal ibadah yang dilakukan, semuanya kita tujukan pada Allah. Yakni kepada Rabb yang
telah memberikan kelapangan rezeki dan keberkahan usia, sehingga dapat menikmati segala keindahan di dunia ini.

Ingatlah bahwa bukan tubuh yang mengiringi hati, tapi hatilah yang mengiringi tubuh. Beribadah tanpa menghadirkan hati yang ikhlas mengharap keridhaan dariNya, hanya akan melahirkan formalitas tanpa isi.

Apalagi bila ibadah tersebut dikotori penyakit-penyakit hati. Riya, sombong, takabur, dan berbagai jenis penyakit hati lainnya, hanya akan membuat nilai ibadah yang kita lakukan menjadi tidak berarti di hadapan Allah.

Allah tidak melihat banyaknya amal yang kita lakukan. Tapi melihat bagaimana amal tersebut diniatkan, yaitu hanya mengharap ridhaNya, bukan pada yang lain.

Insya Allah, jika kita telah membersihkan hati kita dari segala bentuk kemusyrikan, dengan cintaNya, akan hadir hati yang ridha dan diridhaiNya. Hati yang hanya mengharap cinta dariNya, yaitu ketika jiwa yang tenang (nafs muthmainnah) bersemayam di dalamnya.

Jadi, bila ibadah yang dilakukan tidak juga mampu mengantarkan kita memiliki hati yang damai, tanyalah pada hati, untuk siapa ia memberikan hatinya?
Wallahu a'lam.

Sumber : Majalah Swadaya

Hati Adalah Pemimpin


Peran hati terhadap seluruh anggota badan ibarat raja terhadap para prajuritnya. Semua bekerja atas dasar perintahnya dan tunduk kepadanya. Di kemudian hari hati akan ditanya
tentang para prajuritnya. Sebab setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.

Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.” (Surat 16 Al- Israa’ (Memperjalankan Di Malam Hari) Ayat 36)

Rasulullah –Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam bersabda : “Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik maka baik pulalah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak maka rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah itu adalah
hati.”(HR Bukhari dan Muslim) Maka, memperhatikan dan meluruskan hati merupakan perkara yang paling utama untuk diseriusi oleh orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah.
Demikian pula dengan mengkaji penyakit-penyakit hati dan metode mengobatinya
merupakan bentuk ibadah yang utama bagi ahli ibadah.

Hatimu Saudaraku, semoga Allah memberkatimu…
Jangan kotori hatimu…Hati yang kotor tidak akan pernah sampai kepada Allah…
Hati yang kotor tidak akan pernah hidup bahagia…Hati adalah segala-galanya…Seorang ahli ibadah yang hatinya kotor, kelak dilempar keneraka…Ibadah tidak merubahnya…Ibadah
tidak berguna bagi mereka…Amalan hati lebih penting daripada amalan badan,
walau keduanya sama penting…Semoga hati kita benar-benar menjadi pemimpin
yang baik dan bertangung jawab…

Berbakti Kepada Kedua Orang Tua


Allah Ta’ala berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan
kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (Surat 46 Al-Ahqaaf (Bukit-Bukit Pasir) Ayat 15-16)

Kandungan Ayat:
- Ayat ini adalah seruan untuk seluruh manusia tanpa pandang agama, suku, ras, warna kulit dan bangsa.
- Allah Maha Lembut terhadap hamba- hambaNya dan menghargai jasa ibu bapak.
- Berbakti kepada ibu bapak adalah wajib bagi bagi anak-anaknya.
- Diantara bentuk berbakti kepada ibu bapak adalah: Bertutur kata yang sopan dan lembut, membantu memenuhi kebutuhannya, tidak mengganggu dan menyakitinya dll.
- Allah menerangkan sebab mengapa anak wajib berbakti kepada ibu bapaknya.
- Ibu mengandung anak dengan susah payah, kemudian melahirkannya dengan berat sekali, kemudian menyusui dan mengasuhnya yang kesemuanya ini membutuhkan waktu lama dan bukannya sesaat atau dua saat saja.
- Kesemuanya itu membutuhkan waktu tiga puluh bulan, yaitu: Mengandung sekitar sembilan bulan dan sisanya untuk menyusui. Ini adalah yang biasa terjadi.
- Ayat ini adalah merupakan dalil bahwa usia minimal kehamilan adalah enam bulan berdasarkan surat Al-Baqarah 233 yang menyatakan bahwa seorang ibu menyusui anaknya selama dua tahun penuh.Tiga puluh bulan dikurangi dua tahun (dua puluh empat bulan) masa menyusui tersisa enam bulan yaitu masa mengandung.
- Anak yang berbakti adalah anak yang selalu mendo’akan ibu bapaknya.
- Anak yang berbakti kepada ibu bapaknya pasti mendapatkan ridha Allah dan do’anya mustajab.
- Durhaka kepada ibu bapak adalah dosa besar dan sebab kehancuran.
- Wajib atas kita semua untuk beramal
saleh dan bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang diberikan kepada kita dan kepada ibu bapak kita.
- Ibu dan bapak hendaklah memperhatikan kualitas keturunannya dan mentarbiyah (mendidik) mereka dengan baik, karena manfaat dari kebaikan anak kembali kepada ibu bapaknya.
- Kita harus selalu taubat kepada Allah dari dosa-dosa kita dan kembali kepadaNya dengan ketaatan serta berserah diri.
- Orang yang berbakti kepada ibu bapaknya, beramal saleh, bersyukur, berdo’a, bertaubat, taat dan berserah diri kepada Allah adalah orang yang amalnya diterima oleh Allah dan dosa-dosanya diampuni serta kelak di masukkan ke dalam surga.
- Ini adalah janji Allah dan Allah tidak mungkin memungkiri janjiNya.


" Allah Maha Menyayangi hambanya "

Orang-orang beriman tidak akan kecewa terhadap apa yang terjadi ke atas diri mereka. Mereka memahami bahwa setiap
peristiwa yang menyusahkan atau menyakitkan itu, akhirnya akan memberi kebaikan kepada dirinya.

Mereka berusaha melihat kebaikan dan maksud Allah menjadikan setiap peristiwa itu. Jika ia tidak nampak sebarang kebaikan di dunia ini, ia tetap yakin ada kebaikan di akhirat nanti, sehingga dgn itu ia dapat menerima setiap peristiwa yg berlaku itu dgn lapang dada.

Untuk melihat kebaikan dlm setiap perkara yg berlaku hendaklah kita benar-benar yakin bahwa perkara yg berlaku itu telah ditakdirkan oleh Allah. Tidak ada satu pun perkara yg
terjadi secara kebetulan walaupun perkara kecil seperti digigit serangga atau jatuhnya sehelai daun, semua itu terjadi dlm rangka memenuhi takdir Allah.

Yakinlah bahwa ada keburukan dalam peristiwa yg kita rasakan baik dan ada kebaikan dlm peristiwa yang kita rasakan buruk. Hanya Allah yg mengetahui peristiwa-peristiwa yg
baik dan yg buruk, krn kebijaksanaan-Nya yg tidak terbatas. Sedangkan pengetahuan kita sangat terbatas dan hanya mampu melihat sesuatu peristiwa itu dari kulitnya saja. Firman Allah:

"... boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." [al-Baqarah, 2: 216]

Percayalah bahawa Allah tidak membebankan kita melebihi kemampuan yg ada pada diri kita. Kerana itu ujian yg ditimpakan kpd seseorang berbeda dgn orang lain. Ini sesuai dgn firman Allah: "Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut
kesanggupannya. " [al-Mu`minun, 23: 62]

"Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekadar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni syurga; mereka kekal di dalamnya." [al-A'raaf, 7: 42]

Kita hendaklah tetap ingat ada kebaikan dlm setiap peristiwa yg berlaku, kerana itu tdk wajar untuk kita rasa marah atau memberontak. Perasaan itu jika terlintas di hati kita hanyalah tipu daya syaitan yg dihembuskan ke dalam hati kita. Semua itu hanya membawa kpd kemurkaan
Allah. Firman-Nya: ". dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." [Yusuf,12: 87]

Menyerahkan Diri kepada Takdir Pada dasarnya, apa yg harus kita dilakukan adalah menyerahkan diri pd takdir yg telah ditetapkan oleh penciptanya, dan menyedari bahawa segalanya akan berakhir. Sekiranya yg kita alami adalah kesusahan dan kesakitan, ingatlah firman Allah bahawa selepas kesusahan itu ada kesenangan. Firman-Nya:

"Sesungguhnya pada setiap kesusahan itu ada kesenangan. Maka pada setiap kesusahan itu ada kebaikan." [al-Insyirah, 94:5-6]

Orang-orang yang benar keimanannya menggunakan setiap detik kehidupan mereka dengan mengakui bahawa apa pun yang terjadi, semuanya merupakan takdir yang telah direncanakan oleh Allah dengan maksud-maksud tertentu. Mereka terus mengambil manfaat dari pandangan yg positif ini. Mereka tahu bahawa menyesal dan memberontak tidak akan mengubah apa pun dalam takdir yg telah ditetapkan itu.

Maha Suci Allah, sesungguhnya Allah terpelihara daripada bersifat zalim.
Bahkan Allah sangat menyayangi hamba-hambanya. Dalam situasi seperti ini,
dapatlah diukur sejauh mana iman kita kepada Allah SWT.

Memberi 1 Dirham Mendapat Ganti 100 Dirham

Diriwayatkan dari Al-Fudhail bin 'Iyadh, dia berkata, "Ada lelaki
menceritakan kepadaku tentang seorang yang keluar dengan membawa seekor kijang untuk dijual dan dibelikan
gandum. Di tengah jalan ia bertemu dua orang laki-laki yang bertengkar dengan saling menarik rambut.

Lelaki ini bertanya, “Apa yang kalian lakukan?”
Ada yang menjawab, “Mereka berdua bertengkar mempere­butkan uang satu dinar”.

Kemudian, lelaki ini memberikan uang 1 dirham yang dipegangnya, lalu pulang
ke rumah dengan tidak membawa uang sedikit pun. Ia menemui istrinya dan
menceritakan kejadian yang dialami.

Lalu istrinya mengumpulkan beberapa perabot rumah tangga dan memberikan
kepada suaminya agar dijual di pasar, tetapi barang tersebut tidak laku.

Di tengah jalan, lelaki ini bertemu dengan seorang lelaki yang membawa
ikan yang telah busuk. Lelaki yang membawa ikan itu berkata, “Kamu membawa barang-barang yang tidak laku dijual, aku juga membawa barang yang sudah tidak enak
karena bau. Maukah kamu menjual barang mu, aku ganti dengan barang yang aku
bawa ini. Keduanya lalu bertukar barang” .

Lelaki itu membawa ikan yang telah busuk ke rumah, lalu memanggil istrinya dan berkata, “Kemarilah, siangilah ikan ini, kita sama-sama sudah sangat lapar”.

Si istri membersihkan ikan tersebut dan membelah perut­nya. Tiba-tiba satu butir mutiara keluar dari perut ikan itu. Si istri berkata, “Suamiku, di dalam perut ikan ada benda putih lebih
kecil dari telur ayam, seperti telur merpati”.

Suaminya menjawab, “Coba bawa kemari”. Kemudian, suaminya memperhatikan
sesuatu yang belum pernah dilihat sepanjang hidupnya. Ia bingung, tetapi
kemudian berkata kepada istrinya, “Sepertinya ini mutiara”.

Istrinya menjawab, “Apakah engkau tahu berapa harga mutiara ini?” Suaminya menjawab, “Tidak, tetapi aku kenal seseorang yang mengerti mutiara”.

Lalu suaminya mengambil mutiara tersebut dan membawa­nya ke salah seorang penjual mutiara. Ia mengucapkan salam dan penjual mutiara pun menjawab salam tersebut, lalu
menyuruh duduk di sampingnya. Dia mengeluarkan mutiara yang dibawa­nya
dan berkata, 'Coba lihat berapa harga permata ini?' Penjual mutiara itu
memperhatikan jenis mutiara tersebut, lalu berkata, 'Saya hanya berani
membeli dengan harga 40 ribu dirham, kalau boleh sekarang juga saya bayar.
Akan tetapi, kalau kamu ingin harga yang lebih tinggi, silahkan pergi ke
toko mutiara sana, biasanya dia berani membeli lebih mahal!'

Lelaki ini lalu pergi ke toko mutiara lain. Pemilik toko memperhatikan
dengan seksama, lalu berkata, 'Saya berani membeli 80 ribu dirham, kalau
kamu ingin harga yang lebih tinggi, silahkan pergi ke toko yang lain,
mungkin berani dengan harga yang lebih tinggi!'

Kemudian, lelaki itu membawa mutiara ke toko lain.
Pemilik toko berkata, 'Kalau bolehmutiara ini saya beli dengan harga 120ribu dirham. Sepertinya tidak ada tokolain yang berani menawar lebih tinggidari itu'.

Lelaki itu menjawab, 'Ya, silakan'. Kemudian, pemilik toko menyerahkan
sejumlah uang kepadanya. Pada hari itu lelaki tersebut membawa uang sebanyak 12 budrah, satu budrah senilai dengan 10 ribu dirham. Sesampai­nya di rumah, ketika akan
menyimpan uang tersebut, tiba-tiba datang seorang pengemis.

Pengemis ini berkata, ' ... Seperti itulah cerita kehidupanku'. Lalu lelaki itu mempersilahkan pengemis masuk ke rumah dan berkata, 'Terimalah setengah hartaku ini'. Orang miskin
ter­sebut lalu mengambil 6 budrah dan pulang. Belum seberapa jauh meninggalkan rumah, pengemis itu datang lagi dan berkata, 'Sebenarnya aku ini bukan orang miskin atau pun
fakir, aku hanyalah salah seorang makhluk utusan Allah, Dzat Yang telah memberimu uang dirham sebanyak 20 qirath. Ini satu qirath yang telah engkau berikan tadi dan Allah telah
menyimpankan untuk­mu 19 qirath'.

Balasan berbuat baik, berlemah-lembut terhadap fakir-miskin, dan menyayangi mereka memiliki pahala yang sangat besar. Oleh karena itu, jangan sekali- kali kalian meremehkannya. Sekalipun hanya menginfakkan sesuatu yang kelihatan sepele dan sedikit. Seorang Muslim yang sejati adalah yang mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

 
;