
Seseorang yang sering beribadah kepada Allah secara terus-menerus dan
menjauhi segala yang dilarangNya, pasti melahirkan hati yang damai (qolbun salim). Yakni hati yang senantiasa merasa dekat dengan Allah dan penuh rasa syukur serta bersabar ketika musibah datang.
Namun mengapa rasa risau masih ada, meskipun kita telah memperbanyak ibadah pada Allah? Mengapa ketenangan yang didambakan tidak juga hadir menghiasi malam-malam saat kita bermunajat kepadaNya? Ibadah-ibadah yang kita lakukan menjadi hambar, dan rasa galau tetap tidak mau hilang.
Saudaraku, kita hendaknya memahami hakikat dari ibadah. Inti dari ibadah, bukan pada banyaknya shalat, puasa, atau shadaqah yang kita lakukan. Tapi, lebih kepada bagaimana setiap amal ibadah yang dilakukan, semuanya kita tujukan pada Allah. Yakni kepada Rabb yang
telah memberikan kelapangan rezeki dan keberkahan usia, sehingga dapat menikmati segala keindahan di dunia ini.
Ingatlah bahwa bukan tubuh yang mengiringi hati, tapi hatilah yang mengiringi tubuh. Beribadah tanpa menghadirkan hati yang ikhlas mengharap keridhaan dariNya, hanya akan melahirkan formalitas tanpa isi.
Apalagi bila ibadah tersebut dikotori penyakit-penyakit hati. Riya, sombong, takabur, dan berbagai jenis penyakit hati lainnya, hanya akan membuat nilai ibadah yang kita lakukan menjadi tidak berarti di hadapan Allah.
Allah tidak melihat banyaknya amal yang kita lakukan. Tapi melihat bagaimana amal tersebut diniatkan, yaitu hanya mengharap ridhaNya, bukan pada yang lain.
Insya Allah, jika kita telah membersihkan hati kita dari segala bentuk kemusyrikan, dengan cintaNya, akan hadir hati yang ridha dan diridhaiNya. Hati yang hanya mengharap cinta dariNya, yaitu ketika jiwa yang tenang (nafs muthmainnah) bersemayam di dalamnya.
Jadi, bila ibadah yang dilakukan tidak juga mampu mengantarkan kita memiliki hati yang damai, tanyalah pada hati, untuk siapa ia memberikan hatinya? Wallahu a'lam.
Sumber : Majalah Swadaya